Rabu, 30 Agustus 2017

MENELUSURI JEJAK SASTRA PESANTREN

Oleh: Ahmad Zuhri Adnan

Suasana ngaji paaran bulan Ramadhan PP MTHM Ketitang Cirebon Tahun 2017






MENELUSURI JEJAK SASTRA PESANTREN
Oleh: Ahmad Zuhri Adnan


Penyair asal Sumenep, Madura, Jatim, D Zawawi Imron, mengatakan “sastra pesantren itu sesungguhnya telah hadir sejak masuknya Islam di Indonesia sekitar abad ke-12 sekaligus merupakan bagian tak terpisahkan dari sastra Indonesia” (Kompas Cyber Media, Rabu, 29 September 2004, www.kompas.com). Pada awal-awal masuknya Islam di Jawa, telah banyak karya sastra yang dihasilkan dari tradisi kita yang bisa diketemukan, seperti Serat Jatiswara, Serat Centhini, Serat Anbiya dan Tapel Adam. Pada fase selanjutnya mengalami kemerosotan dan kemunduran, hingga kira-kira sekitar akhir paruh pertama abad ke-20, di situ mulai bermunculan berbagai nama seperti Djamil Suherman, Mohammad Radjab, A.A. Navis, HAMKA dan Ki Pandji Kusmin. (Abdurrahman Wahid, 1973). Fase ini bisa dikatakan fase kebangkitan kembali sastra pesantren.

Menurut M. Faizi, walaupun pencitraan pesantren telah diangkat dalam karya sastra puluhan tahun yang lalu, lewat karya Djamil Suherman, maupun Saifuddin Zuhri, dan juga M. Fudoli Zaini, namun wacana “sastra pesantren” sama sekali tidak pernah diperbincangkan. Istilah ini, meskipun terus diperdebatkan hingga hari ini, secara praktis muncul sejak adanya kecenderungan dari penulis-penulis alumni pesantren, atau yang berlatar pesantren, dan atau pelajar yang sedang mondok (status santri di sebuah pondok pesantren), mulai menulis di koran dan secara meyakinkan mewartakan identitas dirinya sebagai orang pesantren. Jadi, bisa dipastikan, awal mula kemunculannya, bukunlah dilartarbelakangi oleh isu kesastraan, melainkan oleh isu gagasan (tema, seting) dan personal (sastrawannya).

Sebetulnya istilah sastra pesantren sudah lama menjadi diskursus dan polemik yang sampai saat ini masih menjadi PR bagi semuanya. Kompas (Jatim, 6/9/2005) pernah memuat diskursus tentang ini: terdapat problem dalam merumuskan apa yang dimaksud dengan sastra pesantren. Di satu sisi, sastra pesantren dimaknai sebagai alur keislaman profetik dalam bersastra ria pada masa Arab klasik, sementara ada pula yang memberi limitasi sastra pesantren hanyalah karya yang dihasilkan para santri. dan wacana ini ini berkembang lebih mengemuka  pada tahun 2000-an, tepatnya ketika Abdurrahman wahid (Gus Dur) menjabat sebagai presiden RI. Besar kemungkinan, kepresidenan Abdurrahman Wahid menjadi pertanda bagi bangkitnya kelompok masyarakat yang bergerak di jalur kultural (pesantren) yang selama Orde Baru mereka tidak memiliki kesempatan. 

Gus Dur menjadi juru bicara orang-orang pesantren untuk masyarakat nonpesantren, termasuk masyarakat asing. Tidak dapat disangkal, suka atau tidak suka, Gus Dur-lah yang telah membukakan pintu gerbang kepesantrenan: pintu tempat orang-orang luar masuk dan melihat-lihat pesantren, dan dia pulalah yang mengajak civitas pesantren untuk keluar dan menunjukkan diri kepada dunia. Sebelum pemerintahan Gus Dur, kalaupun banyak penulis yang berasal dari pesantren, publik tidak pernah mengenal mereka dengan baik karena para penulis (sastrawan) itu memang tidak menampakkan diri. Di era presiden RI ke-4 itulah orang-orang pesantren, terutama yang bergerak di bidang kebudayaan dan kesusastraan mulai dipertimbangkan.

JEJAK DAN KEDEKATAN ORANG-ORANG PESANTREN DENGAN SASTRA

Menurut Ahmad Baso, Pada abad 17 dan 18 pesantren menjadi tempat para pujangga dan sastrawan menghasilkan karya-karya sastra. Pujangga-pujangga kraton, seperti Yasadipura I. Nama aslinya adalah Bagus Banjar, putra Tumenggung Padmanegara bupati Pekalongan. Ayahnya ini masih keturunan Sultan Hadiwijaya raja Pajang. Sewaktu kecil Yasadipura I pernah berguru pada Kyai Honggomoyo, seorang ulama dari padepokan Magelang, dan wafat 1801. Yasadipura I saat itu dikenal mengajarkan kesastraan Jawa maupun Arab. Dalam satu karya, Serat Cabolek, Yasadipura menggambarkan seorang ulama dari Kudus, pesisir Jawa Tengah, yang menunjukkan keahliannya dalam membaca dan menafsirkan naskah-naskah Jawa kuno di hadapan para priyayi Kraton Surakarta. Selain Yasadipura I, ada  Yasadipura II, dan Ranggawarsita, adalah santri-santri pesantren yang tekun mengembangkan karya-karya sastra dalam berbagai bentuk seperti kakawin, serat dan babad.

Sebelum itu wali songo (abad 15-16) yang notabenenya penyebar agama Islam di Indonesia sesungguhnya telah mengawali babakan sastra di Indonesia. Sebut saja Sunan Ampel (Raden rahmat, Lahir 1401) melahirkan produk sastra fenomenal berupa pujia-pujian yang berisi ajaran tauhid berbasis ahlak yang sampai saat ini masih bisa kita dengar lewat music kontemporer (dengan berbagai genrenya) yaitu teks lir ilir.

Demikian pula karya-karya Penghulu Haji Hassan Musthafa (1852-1930). Dari sekitar 49 buah karyanya, kebanyakan diperoleh dari tradisi kesastraan pesantren. Ciri khas kesastraan pengulu-kepala ini ada pada bentuk-bentuk bahasa yang berbentuk puisi, tapi penuh lelucon, plastis tapi orisinil. Selain itu, ia juga mengintegrasikan khazanah fiqih dan sufisme pesantren ke dalam adat kebiasaan orang Sunda dalam bentuk simbol-simbol pemaknaan yang akrab. 

Pada karya modern yang sudah menggunakan huruf Latin, ada Pahlawan ti Pesantren (Pahlawan dari Pesantren). Ini adalah sebuah roman dalam bahasa Sunda, yang menceritakan perjuangan para santri menghadapi kolonialisme Belanda karya Ki Umbara (Wiredja Ranusulaksana) (1914-2004) dan S.A. Hikmat (Soeboer Abdoerrachman) (1918-1971). 

Dalam bahasa Jawa, Serat Jatiswara, Serat Centhini, dan Serat Cabolek adalah contoh-contoh karya-karya pesantren dari wilayah pesisir utara Jawa. Ini adalah teks-teks sastra kaum santri sejak abad 17 dan 18, yang diproduksi di lingkungan kaum santri dan beredar di kalangan kaum santri, terutama di lingkungan masyarakat pesisir, yang kemudian dibakukan menjadi “milik kraton” oleh Yasadipura II pada pertengahan abad 19. Kisah perjalanan kaum santri pengembara (santri lelana) menuntut ilmu di berbagai pondok dan tempat keramat mendominasi karya-karya ini. Kekayaan tradisi keillmuan pesantren juga ditunjukkan dalam Hikayat Pocut Muhammad dan Hikayat Indrapura dalam beberapa versi lokalnya.

Demikian pula cerita epos I La Galigo, dengan tokoh protagonisnya, Sawerigading. Karya sastra berbahasa Bugis ini sepenuhnya berasal dari masa sebelum Islam. Namun, disisipkan satu versi cerita --lisan dan tertulis-- dimana Sawerigading nyantri ke Mekkah, naik haji, bertemu dengan Nabi Muhammad SAW, dan kembali ke kampungnya mendirikan “masigi”, mesjid plus pondok. Versi “Sawerigading santri” baik lisan maupun tulisan ini masih terpelihara di beberapa pesantren Bugis-Makassar. 

Sastra pesantren juga mengungkapkan diri dalam karya-karya etnografis-kesejarahan atau kisah-kisah perjalanan yang merekam tradisi-tradisi masyarakat setempat dalam bentuk sastra. Seperti dalam Poerwa Tjarita Bali, ditulis pada 1875 dalam bahasa Jawa, oleh seorang santri di Pondok Sepanjang, Malang, bernama Raden Sasrawijaya, asal Yogyakarta. Pengetahuan tentang “kota-kota, adat-istiadat pembesar dan orang kebanyakan yang tinggal di desa-desa” ini kemudian dituangkan sebagai bagian dari kegiatan bersastra (maguru ing sastra) orang-orang pesantren.

Pada 1960-an muncul nama Syu’bah Asa, Fudoli Zaini dan beberapa nama yang bisa dianggap mewakili kaum santri. Pada tahun 1970-an muncul Emha Ainun Nadjib (alumni Pesantren Gontor) dengan sajak-sajak religiusnya yang kental. Tahun 1980-an muncul K.H. Mustofa Bisri (Gus Mus, Pengasuh Ponpes raudlatuttolibin, Rembang), Jamal D Rahman, Acep Zamzam Noor (Putra mantan Rois Syuriyah PBNU, KH Ilyas Rukyat Tasikmalaya), Ahmad Syubbanuddin Alwy (putra kyai dari Cirebon Timur), Abidah El-Khaleiqy, Ahmad Tohari (Muballig pengasuh pesantren) dan lain-lain. Kemudian pada tahun 1990-an tampil Mathori A Elwa, Hamdi Salad, Nasruddin Anshory, Kuswaidi Syafi’ie dan lain-lain. Dan di era 2000 muncul novelis (boleh juga dibilang sastrawan?) Habiburrahman Elsirazy. Meraka adalah sastrawan yang pernah belajar di pesantren, dan karya-karya mereka pada umumnya diwarnai nafas Islam. 

Di pesantren, santri membaca atau menyanyikan puisi setiap hari. Tak ada hari tanpa santri membaca puisi, sendiri-sendiri atau bersama-sama. Utamanya adalah ‘diba’, sebuah antologi puisi karya Imam Abdurrahman Ad-Dayba’i ini dilakukan seminggu sekali oleh masyarakat pesantren. Dan khusus untuk genre puisi bahkan pesantren memasukkan sebuah ‘teori puisi’ berupa ilmu ‘Arudl’ karya Al-Khalil bin Ahmad. Ilmu ‘Arudl, adalah sebuah disiplin ilmu yang membahasa perihal penciptaan rima dan matra dalam puisi. Selain itu mereka membaca atau menyanyikan puisi Abu Nuwas, Sayyida Ali r.a., Imam Syafi’i, al-Bushiri (puisi burdah), prosa al-Barzanji (prosa karya Syekh Jakfar Albarzanji), dan lain-lain. Mereka membaca doa-doa, yang hampir semuanya berbentuk puisi. Bahkan tauhid dan tata bahasa Arab pun mereka pelajari melalui puisi, sambil menyanyikannya. Gambaran tersebut (dan fakta jejak orang pesantren di atas) cukup signifikan untuk dijadikan sebagai bukti kedekatan orang-orang pesantren/santri dengan tradisi sastra, khususnya puisi. 

Kemampuan yang ditunjukkan oleh civitas pesantren dalam bentuk kompetensi di bidang karang-mengarang, sastra maupun non-sastra. Puisi (syi’ir) menjadi ruh bagi hampir seluruh aktivitas keilmuannya. Berbagai macam disiplin ilmu keagamaan diajarkan melalui bait-bait puisi (nadham). Syi’ir-syi’ir ini tidak saja dipelajari, melainkan juga dihafalkan. Tradisi nadham dan hafalan menjadi dua serangkai yang nyaris tidak dapat dipisahkan. Yang paling masyhur bagi kita antara lain adalah buku kumpulan puisi “Alfiyah” karya Ibnu Malik. Kitab ini berisi 1000 larik puisi tentang ilmu tata bahasa Arab (gramatika), dan ada pula nadham Maqshud, puisi yang mempelajari ilmu konjugasi/perubahan bentuk kata. Sehingga, jika dikatakan seseorang belajar Alfiyah atau ‘Amrithi dan nadham maqhsud, maka sejatinya dia sedang belajar ilmu nahwu melalaui puisi-puisi itu dengan cara menghafalkannya sekaligus. Selain itu situasi jiwa yang jauh dari rantau, orang tua dan sahabat, mengantarakan ‘proses kreatif’ para santri untuk berkarya membuat puisi (dan cerpen). Proses it uterus mengalir seiring ‘nyanyian jiwanya’ yang membuncah- yang sengaja atau tidak sengaja- menghasilkan karya sastra yang eksotis.

Sementara di bidang prosa (natsar: dan karya ilmiah) banyak kiai yang menulis kitab dan diterbitkan untuk umum, bahkan masyhur tidak saja di tanah air (Nusantara), melainkan hingga ke luar negeri, bahkan hingga jauh di tanah Arab. Terutama karya-karya ulama zaman dahulu. Sebut saja misalnya Syekh Abdus Shamad Al-Falimbani, Syekh Nawawi al-Bantani (Nihayat az-Zain, Marahu Labid/Tafsir Munir), Syekh Yasin al-Fadani (Fawaidul Janiyyah, Hasyiyah Faraidul Bahiyyah), Kiai Ihsan Jampes (Siraj at-Thalibin), Kiai Ma’shum Ali (Amtsilat at-Thashrif), Kiai Hasyim Asy'ari (At-Tanbihat al-Wajibat) dan juga, yang muncul belakangan, Shohib Khaironi El Jawy yang menulis kitab panduan tata bahasa Arab dengan metode skema dan diagram yang memudahkan pembaca yang ingin mendalami ilmu nahwu-sharaf. Kitab karangannya ini, Audhlahul Manahij, bahkan telah “diakui” kompetensinya di negara-negara Arab (Em Syuhada’: 2008). 

MENGURAI ORIENTASI SASTRA PESANTREN
Jika kita bicara sastra pesantren maka batasan dua kata dalam satu frase itu perlu diulas lebih awal. Berdasarkan pendapat 10 ahli sastra (diantaranya Sapardi Djoko Damono, Saeni KM, dan Tarigan), umunya pengertian sastra tidak lepas dari empat kata kunci yaitu, ekspresi, imajinasi, estetika dan bahasa. Dengan demikian jika empat kata kunci itu ditemukan dalam produk bahasa maka dinamakan sastra. Pendeknya sastra adalah ekspresi seseorang yang bersifat imajinatif dengan medium bahasa yang mempunyai efek keindahan. 

Sementara kata pesantren menurut kamus besar bahasa Indonesia, iartikan sebagai asrama, tempat santri, atau tempat murid-murid belajar mengaji. Sedangkan secara istilah pesantren adalah lembaga pendidikan Islam, dimana para santri biasanya tinggal di pondok (asrama) dengan materi pengajaran kitab-kitab klasik dan kitab-kitab umum, bertujuan untuk menguasai ilmu agama Islam secara detail, serta mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian dengan menekankan pentingnya moral dalam kehidupan bermasyarakat. Dan berdasarkan pendapat banyak kalangan diantaranya, Zamahsyari Dhofir, Manfred Ziemek, Clifford Geertz, dan Wahjoetomo, jika disimpulkan istilah pesantren harus memenuhi empat unsur yaitu, kyai, santri, asrama (masjid, musolla, padepokan dll) dan muatan pengajaran (kitab kuning). Kalau boleh penulis istilahkan lebih kekinian maka kyai dan santri adalah civitas pesantren, asrama berarti latar (setting), dan muatan pengajaran berarti tema.

Maka logika sederhananya adalah, jika ada sebuah karya hasil ekspresi yang bersifat imajinatif dengan medium bahasa dan berefek estetis dan produk itu dihasilkan dari seorang kyai, atau santri, berkembang dan atau dikembangkan dari komunitas pesantren dan bernafaskan (tema) muatan pesantren, maka itu berarti sastra pesantren. Lalu kapankah ‘klaim’ ini memiliki integritas dalam dunia kesusateraan.  Karena sementara ini dalam sector periodisasi sastra, kebanyakan para ahli sastra membagi periodisasi satra dalam tiga babakan yaitu masa kesusastraan lama (purba, Hindu dan Islam) dan masa kesuasteraan baru (Angkatan Balai Pustaka [angkatan 20], angkatan Pujangga Baru [angkatan 30], angkatan 45, angkatan 50, dan angkatan 66). Di situ terminologi maupun etimologi pesantren tidak muncul dan yang tereksplisitkan kesuasteraan Islam. 

Yang jadi persolan adalah manakala keempat unsur itu tidak terwadah dalam satu paket. Misalnya santri atau pernah nyantri tapi menghasilkan karya tidak bertemakan santri atau pesantren, maka apakah disebut sastra pesantren?. Atau bukan santri dan tidak pernah nyantri tapi menghasilkan karya bertemakan santri atau pesantren apakah juga dikategorikan sastra pesantren?

Untuk menjawab dua pertanyaan di atas, maka orientasi batasan ‘sastra pesantren’ tampaknya harus dilihat dari beberapa cara pandang tentang sastra pesantren. Menurut Syarif Hidayat Santoso (Kompas Jawa Timur, 2005) bahwa istilah “sastra pesantren” menunjuk pada setidaknya tiga pengertian: (1) sastra yang hidup di pesantren (2) sastra yang ditulis oleh orang-orang (kiai, santri, alumni) pesantren; (3) sastra yang bertemakan pesantren, seperti Umi Kalsum Djamil Suherman, Geni Jora Abidah El-Khalieqy, dan Maria & Maryam Parahdiba. Dengan tiga pengertian itu, khazanah sastra pesantren mengalami perluasan dan pengayaan, baik dalam bentuk, isi, maupun lingkungan pergaulannya. 
Selama ini lazim diketahui, term sastra pesantren didefinisikan sebagai produk/ karya sastra yang bertema keislaman, kesantrian, dan kepesantrenan; atau diidentifikasi sebagai karya sastra yang berurusan dengan nilai keislaman; atau karya sastra para pengarang yang punya pengalaman kehidupan pesantren, karya pengarang berbahasa Indonesia yang bermuatan tema keislaman, kesantrian, atau kepesantrenan; atau pula pengarang yang punya hubungan sejarah atau silsilah dengan pesantren. Dalam pandangan Ridwan Munawwar (Ridwan Munawwar, 2007), kategori di atas tampaknya menghendaki tema/ wilayah pembahasan sastra pesantren ke arah tema-tema nilai esoterik keagamaan; cinta ilahiyyah, pengalaman-pengalaman sufistik, cinta sosial (habluminannaas), atau ekspresi dan impresi transendental keindahan alam semesta (makrokosmos). Berkaitan dengan titik berat ke arah tema ini maka akan mengecualikan Taifiq Ismail, Kunto Wijoyo,  dan Abdul Hadi WM  yang bukan orang pesantren (tidak pernah nyantri?) tapi karya-karyanya bertema agamis (religious).

Jika orientasi itu didasarkan pada “siapa”, yakni pada sastrawan (penulisnya): berdasarkan kategori ini, yang disebut karya sastra pesantren adalah karya yang ditulis oleh santri/kiai/civitas pesantren, dan atau juga yang punya silsilah sosial/intelektual dengan pesantren. Maka akan dapat disebutkan nama-nama berikut, D. Zawawi Imron (Kyai dari Sumenep), Djamil Suherman, Syu’bah Asa, Fudoli Zaini , Emha Ainun Nadjib (alumni Gontor), KH Mustofa Bisri (Syuriyah PBNU, pengasuh PP Roudlatut tolibin Rembang), Ahmad Tohari (kyai, pengasuh pesantren) Jamal D Rahman, Acep Zamzam Noor (putra KH Ilyas Rukyat, mantan Rois Syuriyah PBNU), Ahmad Syubbanuddin Alwy (putra kyai Cirebon), Abidah El-Khalieqy, Mathori A Elwa, Hamdi Salad, Nasruddin Anshory, juga Kuswaidi Syafi’i. Maka meskipun karya-karya mereka tidak menyebut dan bernuansa pesantren secara langsung, menurut M. Faizi dalam “Silsilah Intelektualisme dan Sastra di Pesantren”  kategori ini lebih pas jika dikelompokkan dengan sebutan “sastrawan santri”, yaitu civitas pesantren (santri/alumni) yang menulis karya sastra. Sebagaimana dikemukakan di atas, maka orientasi ini mengecualikan Taufiq Ismail, Kunto Wijoyo,  dan Abdul Hadi WM  yang bukan orang pesantren.

Dan jika orientasi berdasarkan tema/seting, yakni sastra pesantren yang diasumsikan berdasarkan seting/latar cerita dan tema. Nah, barangkali, untuk mengambil contoh kategori ini akan sangat banyak. Novel “Geni Jora” karya Abidah el-Khalieqy dan “Hubbu” karya Mashuri (keduanya sama-sama memenangkan lomba penulisan novel/roman yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta pada tahun yang berbeda) adalah salah satu contohnya, mengingat seting cerita yang diangkat adalah seting pesantren. Lebih-lebih, jika kita berikan contoh novel-novel pop remaja Matapena yang memang secara khusus mengangkat tema dan latar pesantren, seperti Bola-Bola Santri (Sachree M. Daroini) dan Jerawat Santri (Isma Kazee), dan seterusnya. Tentu saja Taufiq Ismail, Kunto Wijoyo, dan Abdul Hadi WM masuk dalam kategori ini. 

Dalam orientasi ini justru persoalan akan menjadi rumit karena meskipun dari kalangan pesantren, Ahmad Tohari dengan Trilogi Ronggeng Dukuh Paruknya, Geni Joranya Abidah El Khaleiqy atau “Kuda Ranjang” karya penyair muda Binhad Nurrahmat sulit untuk dikatakan sebagai karya “Islami”. karya mereka terkesan jauh dari area dan bahasa pesantren. Berbeda dengan karya almarhum Hamka misalnya, secara otomatis sampai saat kini mendapat legitimasi sebagai karya Islam hanya karena menggunakan pondasi Religiusitas yang diamini masyarakat, kendatipun ‘karya Islam’ (dan religi) masih belum ada kata sepakat mewakili sastra pesantren 

Orientasi ketiga adalah apabila sastra pesantren harus dikelompokkan berdasarkan genrenya—dengan tetap bertahan pada definisi genre dalam pandangan sarjana-sarjana sastra—maka yang dimaksud sastra pesantren adalah nadhaman, syi’iran, yang nota bene berbahasa Arab dan bahasa daerah (Jawa, Sunda, Madura), dan bukan berbahasa Indonesia. Sebab, hanya genre syi’ir ini yang dapat kita kelompkkan pada genre, yakni jenis produk karya sastra (seperti puisi dan prosa), dan temanya jelas-jelas mengangkat masalah-masalah (ilmu-ilmu) keagamaan dan bahasa (nahwu-sharraf).

Kalau definisi sastra pesantren ditarik lebih keluar, misalnya dengan menyitir pernyatan bahwa karya sastra pesantren adalah setiap karya yang menyiratkan nuansa sufistik, risalah keagamaan, dan seterusnya, tentu kita tidak boleh keberatan untuk memasukkan karya-karya Abdul Hadi WM di dalamnya, meksipun dia sendiri bukanlah civitas pesantren. Bahkan, secara lebih ekstrem, kita juga harus merelakan karya-karya Romo Mangunwijaya, Rabindranath Tagore, hingga Khalil Gibran, sebagai karya yang berlabel “sastra pesantren” meskipun mereka sendiri adalah non-muslim. Itu artinya, sastra pesantren tak jauh adalah berbeda dengan sastra profetik.

Menurut Acep Zamzam Noor, ukuran sastra sebagai karya adalah kreativitas, tanpa harus mempedulikan siapa dan dari kalangan mana penulisnya, begitu juga tema yang diangkatnya (Acep Zamzam Noor: 2006). Ia menyatakan kurang setuju dengan pelabelan “sastra pesantren” atau “sastra santri”. Sebab, pelabelan ini, menurutnya, akan menjadi beban yang berat bagi para penulis kalangan pesantren untuk selalu menggarap tema-tema tertentu, misalnya soal kehidupan pesantren atau tema-tema yang berbau dakwah. Bukan hanya beban, bahkan pelabelan ini bisa jadi menghambat kreativitas penulisnya itu sendiri. 

Ahmad Baso pernah berbicara tentang “sastra pesantren”. Menurutnya sastra pesantren bukan sekadar soal kehadiran suara komunitas pesantren dalam produksi sastra. Tapi juga sebuah perbincangan tentang subyektifitas kreatif kalangan pesantren dalam berkebudayaan. Tampilnya pesantren sebagai tempat persemaian tradisi kesusastraan, menunjukkan bahwa pesantren bukan hanya tempat belajar, tapi juga lembaga kehidupan dan kebudayaan. 

Sementara Muhammad Abdullah, dalam sebuah risetnya: Fungsi Wirid Dan Hizib dalam Sastra Lisan Pesantren (2008) mengatakan bahwa ciri-ciri sastra pesantren tersebut adalah (1) lahir dan berkembang setelah sekitar abad ke-19, (2) bahasa yang dipakai adalah bahasa Jawa, bahasa Arab, kadang bercampur bahasa Arab dan Jawa ; (3) tulisan yang dipakai adalah tulisan Arab-Jawa (pegon) dan tulisan Arab; (4) lahir dan berkembang di kawasan pondok pesantren; dan (5) isinya berkisar masalah tauhid, fiqih, ilmu kalam, dan doa-doa (Basuki, 1988; Abdullah 1996; Thohir, 1997). 

Kalau boleh penulis menarik benang merah, maka bahwa sesungguhnya dalam sastra pesantren ada ramuan yang harus terpenuhi secara komplit sehingga akan muncul ‘citarasa’  yang akan dapat dirasakan secara seragam oleh penikmat sastra, yaitu unsur personal, tema, dan latar yang bernuansa pesantren. Maka tidak akan terbantahkan orang-orang seperti D. Zawawi Imron (Bulan Tertusuk Ilalang:1982), Djamil  Suherman, Syu’bah Asa, Fudoli Zaini , Emha Ainun Nadjib, KH Mustofa Bisri (Tadarus Antologi Puisi: 1990), Jamal D Rahman (Reruntuhan Cahaya:2003),, Acep Zamzam Noor Tamparlah Mukaku! (kumpulan sajak, 1982), Ahmad Syubbanuddin Alwy, Mathori A Elwa, Hamdi Salad, Nasruddin Anshory, juga Kuswaidi Syafi’I adalah yang mewakili sastra pesantren.

Sastra pesantren lahir dari tangan-tangan kreatif santri-santri yang memunculkan produk-produk sastra yang tidak hanya religious, tetapi juga eksotis. Sampai di sini bisa kita lihat, bagaimana perjalanan “sastra pesantren” yang cukup dinamis dari waktu ke waktu, namun terkadang terasa kontradiktif-paradoksal. Hingga menyulitkan kita untuk melakukan pememetaan dari berbagai kecenduran yang ada. Akan tetapi yang jelas, “dunia sastra pesantren” sebenarnya menyimpan kekayaan yang tidak dapat dinafikan pada peta sastra dunia. Meski demikian, demi merengkuh nilai originalitas dan otentisitas, sastra pesantren masih harus terus diperjuangkan, harus dilakukan pencarian dalam pergulatan secara maksimal dan tidak pernah mengenal lelah. 

Penulis adalah Pengasuh PP Majelis Tarbiyah Hidayatul Mubtadiin 
Ketitang Japurabakti Cirebon
 Alumni PP Lirboyo Kediri, 
Mengajar Bahasa dan Sastra di SMA N 1 Lemahabang Kab. Cirebon
Dan STIBA Invada Cirebon
082127041144



Tidak ada komentar:

Posting Komentar