Rabu, 30 Agustus 2017

MODERNISASI TANAH SUCI DAN DESTRUKTIFIKASI SITUS-SITUS BERSEJARAH






Oleh: Ahmad Zuhri Adnan

Tepatnya tanggal 10 September 2014, saya mendapat kesempatan untuk memenuhi panggilan Ibrahim untuk menuanikan rukun Islam terakhir, ibadah haji. Masuk gelombang satu kloter 29 via embarkasi Bekasi-Jakarta. Apa yang saya bayangkan dan berdasarkan cerita-cerita orang yang pernah berhaji ternyata Mekka
h dan Madinah jauh lebih indah. Masjid Nabawi Madinah dan Masjidil haram Mekkah begitu megah dan bersih. Tentu saja menciptakan suasana nyaman tersendiri bagi jamaah haji. Bangunan-bangunan kokoh menjulang tinggi, eksotis dan elegan. Jalan-jalan rata, kuat dan bebas hambatan. Semuanya dibangun dengan peralatan canggih dan bahan metarial kelas super dunia.Sungguh amat pesat perkembanagan pembangunan di mekah (juga madinah).

Selain karena perluasan Masjidil Haram, hotel berbintang telah banyak dibangun di sekitar Masjidil Haram dengan jarak yang cukup dekat. Hal ini tentu menjadi nilai positif karena jamaah bisa lebih dekat untuk mendatangi Masjidil Haram. Bangunan hotel yang kini bertambah adalah adanya hotel Raffles Makkah Palace yang bisa melihat secara langsung Masjidil Haram hanya dari dalam kamar saja. Hotel ini sudah dilengkapi dengan empat buah restoran di dalamnya.

Ada yang lebih fenomenal yaitu,  dibangunnya The Abraj Al-Bait Towers atau Makkah Clock Tower. Bangunan menjulang tinggi yang juga dikenal sebagai Menara Clock Royal Mecca Hotel, adalah sebuah kompleks bangunan di Mekkah, Arab Saudi. Menara ini merupakan bagian dari Proyek Abdulaziz Raja Endowment yang berusaha untuk memodernisasi kota suci dalam melayani para peziarah. Kompleks ini memegang beberapa rekor dunia yaitu sebagai menara jam tertinggi di dunia, wajah jam terbesar di dunia dan bangunan dengan luas lantai terbesar di dunia. 

Menara hotel Kompleks ini menjadi gedung tertinggi kedua di dunia pada tahun 2012, hanya dilampaui oleh Dubai Burj Khalifa. menara dengan tinggi bangunan mencapai 601 meter, dengan 76 tingkat serta 858 kamar ini letaknya 800 meter dari Masjidil Haram. Di sisi kanan kiri terdapat jam raksasa. Empat muka jam di puncaknya masing-masing berbentuk mirip Big Ben di London, meskipun mengalahkannya dalam ukuran: diameternya masing-masing 46 meter, dengan jarum panjang yang melintang 22 meter. Berbeda dengan Big Ben, Abrojul Bait di atasnya diterangi dua juta lampu LED tertulis , "Allahu Akbar". Pengeras suara di menara jam menjadi pelengkap. Gunanya, untuk mengumandangkan azan. Dari sini, suara azan bisa terdengar sampai jarak tujuh kilometer. 

Sepertinya Masjidil Haram Mekkah harus bertranformasi bukan sebagai bangunan suci namun sebuah tempat untuk memenuhi permintaan dan penawaran pasar, pasar ziarah agama. Di Indonesia sendiri bisnis ziarah ke Mekah merupakan bisnis yang menggiurkan, berjuta-juta orang berziarah umroh atau bahkan mengantri untuk mendapatkan porsi menunaikan ibadah kelima rukun Islam yaitu haji. Bahkan Mekah menjadi ikon destinasi alternatif selain di Eropa, Amerika, Selandia Baru atau tempat eksotis lainnya. Destinasi itu pun kian “halus” kedengarannya jika digabung menjadi bentuk kata “destinasi liburan dan ibadah”. 
Modernisasi itu bukan tanpa resiko, yaitu lenyapnya situs-situs sejarah peradaban dan perkembanagn Islam yang menjadi daya inspiring dan ibroh perjuangan Rasulullah, terutama bangunan di sekeliling Masjidil Haram. Logis memang!. Upaya itu merupakan ikhtiar baik pemerintah Arab Saudi,  seiring dengan jumlah jamaah haji yang kian tahun kian meningkat maka dibutuhkan perluasan agar dapat menampung jamaah yang datang dari seluruh penjuru dunia. 
Salah satu bangunan sejarah yang telah dihancurkan dan tinggal namanya saja adalah Darul Arqam, tempat tersebut merupakan tempat dakwah Rasulullah SAW secara sembunyi-sembunyi. Dan di situ pula Umar bin Khattab membaca dua kalimat syahadat dan masuk Islam. Setelah dihancurkan untuk perluasan Masjidil Haram, nama Darul Arqam menjadi nama salah satu pintu dekat dengan tempat sa’i. 
Selain itu situs yang telah hancur adalah tempat Rasul Muhammad mengawali perjalanan Isra' Mi'raj (620 M). Situs lain yang ikut dihancurkan adalah kolam peninggalan Dinasti Ottoman dan Dinasti Abbasiyah. Di tempat-tempat tersebut, dikatakan menyimpan segudang peninggalan kejayaan Islam berupa dokumentasi kaligrafi (seni menulis ayat-ayat suci Al-quran) tertua di dunia. Tempat-tempat yang lenyap itu juga mengandung sejarah bagi masa Khulafaur Rasyidin (632 - 661 M).

 Rumah istri Nabi Siti Khadijah pun kini sudah berubah menjadi toilet. Kabarnya, pada saat pembongkaran tempat tersebut, ditemukan bekas-bekas peninggalan Nabi Muhammad seperti Mihrab Nabi yang menghadap ke Ka’bah, bak wudhu Nabi, kamar Nabi, dan tempat dilahirkannya Fatimah. Lalu ada beberapa situs yang menunggu diratakan dengan tanah, yakni antara lain tiang-tiang tua dari periode Utsmani dan Abbasiah (Abad ke-17) di Masjidil Haram; rumah tempat kelahiran Nabi Muhammad; dan rumah paman Nabi Hamzah bin Abdul Muthalib.

Ini sangat dikhawatirkan oleh banyak kalangan sedunia. Kesan sakral mulai luntur dan spirit perjuangan Rasulullah dalam menegakkan kalimat Allah susah untuk terrefleksi. Dalam catatan Sami Angawy, arsitek dan pendiri Pusat Penelitian Ibadah Haji di Jeddah, menyebutkan bahwa  selama 50 tahun terakhir, sekitar 300 bangunan sejarah telah diruntuhkan.  Selain Angwy, Dr Irfan Alawi—yang juga Direktur Eksekutif Islamic Heritage Research Foundation—mengatakan setidaknya Mekkah dan Madinah sudah kehilangan 400 hingga 500 situs suci bersejarah. Gulf Institute yang bermarkas di Washington memperkirakan 95 persen situs berusia milenium di Mekkah telah dihancurkan dalam dua dekade terakhir. Paham yang berkuasa di Arab Saudi ini hendak mencegah orang jadi “syrik” bila berziarah ke petilasan Nabi, bila menganggap suci segala bekas yang ditinggalkan  Rasulullah. 

Memang, medernisasi tanah suci menawarkan eksotisme sendiri bagi siapa pun yang melihatnya. Termasuk saya ketika menginjakkan kakiku di Madinah, tepatnya tanggal 10 September 2014. Saya mendapat kesempatan untuk memenuhi panggilan Ibrahim untuk menuanikan rukun Islam terakhir, ibadah haji. Masuk gelombang satu kloter 29 via embarkasi Bekasi-Jakarta. 

Apa yang saya bayangkan dan berdasarkan cerita-cerita orang yang pernah berhaji ternyata Mekkah dan Madinah jauh lebih indah. Masjid Nabawi Madinah dan Masjidil haram Mekkah begitu megah dan bersih. Tentu saja menciptakan suasan nyaman tersendiri bagi jamaah haji. Bangunan-bangunan kokoh menjulang tinggi, eksotis dan elegan. Jalan-jalan rata, kuat dan bebas hambatan. Semuanya dibangun dengan peralatan canggih dan bahan metarial kelas super dunia. 

Fasilitas masjid Nabawi membuat siapapun yang melihat pasti berdetak kagum. Betapa tidak, masjid Nabawi yang awalnya hanya berukuran sekitar 50 × 50 m, dengan tinggi atap sekitar 3,5 m, saat ini mengalami super perubahan.  Saat ini, apabila halaman masjid dipenuhi jamaah sholat, maka Masjid Nabawi dan halamannya dapat menampung 650.000 jemaah pada musim biasa (low season) dan lebih dari 1.000.000 jemaah pada musim haji atau bulan ramadhan (high season). 

Nabawi memiliki kubah dengan berat 80 ton yang terbuat dari kerangka baja dan beton yang dilapisi kayu pilihan dengan hiasan relief yang bertatahkan batu mulia sejenis phirus yang sangat indah, sedangkan bagian luar atasnya dilapisi keramik tahan panas. Untuk menyejukkan suasana dalam masjid, dibangun satu unit AC sentral raksasa di atas tanah seluas 70.000 m2 yang terletak 7 km sebelah barat masjid. Hawa dingin yang dihasilkan sistem ini dialirkan melalui pipa bawah tanah dan didistribusikan ke seluruh penjuru masjid melalui bagian bawah setiap pilar yang berjumlah 2.104 buah. 
Masjid Nabawi juga memiliki  menara baru yang berketinggian 104 meter. Di atasnya terdapat ornamen bulan sabit dari bahan perunggu yang dilapisi emas murni 24 karat dengan tinggi 7 meter dan berat 4,5 ton. Pada ketinggian 87 meter dipasang sinar laser yang memancarkan cahaya ke arah Mekah sejauh 50 km untuk menunjukkan arah kiblat dan dinyalakan pada saat-saat tertentu (waktu sholat). Sekarang Masjid Nabawi memiliki 10 menara yang sangat eksotis dan mahal. lampu kristal  di dalam masjid semakin menciptakan suasana cerah namun sejuk. Lampu cantik tersebut disusun dengan kerangka dari bahan kuningan berlapis emas berjumlah 674 buah, terdiri dari 3 macam ukuran. Yang besar berukuran garis tengah 342 cm dengan berat 485 kg. Yang besar berukuran garis tengah 342 cm dengan berat 485 kg (seperti yang terdapat di Roudloh), yang sedang berukuran garis tengah 140 cm seberat 145 kg, dan yang kecil berukuran garis tengah 120 cm dengan berat 125 kg. Lampu-lampu ini dipesan khusus dari Italia, produsen kristal terkenal Eropa.

Pada bagian tengah Masjid Nabawi terdapat dua ruang terbuka yang setiap ruang dilengkapi 6 buah payung artistik, hasil perpaduan arsitektur modern dan teknologi canggih. Dengan dukungan dana yang tidak sedikit lahirlah sebuah karya yang patut dibanggakan berupa 12 payung raksasa peneduh panas yang dapat terbuka dan tertutup secara otomatis yang diatur oleh sistem komputer. Selain itu melalui sebagian batang tubunya dipasang AC yang secara otomatis pula memancarkan hawa dingin. Selain itu ada payung-payung eksotis yang bernama mudzillat. Jumlahnya sekitar 180 yang berdiri disekitar empat sisi masjid. Sangat indah dan memesona bagi siapapun yang melihatnya. Ketika mulai semakin siang, payung yang berada di masjid tersebut mulai terkembang, untuk melindungi dari panas sengatan matahari, dan apabila petang menutup secara otomatis.

Ada yang lebih dari itu semua. Ya, di dalam masjid terdapat pusara Nabi Muhammad Saw. Dulu pusara tersebut adalah rumah kediaman Nabi Muhammad SAW. Di sebelah kanannya terdapat Roudloh. Roudloh yaitu lokasi yang ada di dalam Masjid Nabawi, posisinya terletak antara Mimbar dan makam Nabi, yang sekarang ditandai oleh pilar-pilar berwarna putih dengan ornamen yang khas sedangkan lantainya dilapisi permadani wool yang sangat indah dan unik. Roudloh juga disebut Taman Surga berdasarkan hadits Nabi yang berbunyi (artinya), ‘Diantara rumahku dan mimbarku adalah sebagian taman surga’ (Muttafaq ‘alaih). Bahwa Allah SWT menurunkan rahmat-Nya dan berbagai kebahagiaan di tempat itu, karena di tempat itu dilakukan zikir dan pemujaan kepada Allah, yang karenanya dijanjikan surga. Tempat itu kelak setelah kiamat benar-benar akan dipindahkan oleh Allah SWT ke surga, sehingga ia menjadi bagian dari taman surga yang hakiki. Selain itu orang-orang yang pernah berdoa di Roudloh akan melihatnya di surga.

Namun demikian di balik pesat dan eksotisnya, madinah juga mengalami nasib yang sama seperti mekkah. situs-situs  peninggalan sejarah yang sakral dan kaya nilai, lenyap. diantaranya yaitu, makam syuhada baqi. Kalau dulu tahun 1993 kita masih bisa ziarah dan memandang ke makam baqi dengan hanya berdiri seperti halnya bila kita berdiri di luar tempat pemakaman umum di Indonesia.  Tapi perubahan yang sekarang adalah, pemakaman baqi tidak bisa dilihat atau diziarahi hanya dengan berdiri karena pemakaman itu sekarang sudah dikurung dengan tembok berlapis marmer setinggi kira-kira 6-10 meter tingginya, sehingga kalau kita mau berziarah dan melihat makam syuhada baqi harus menaiki anak tangga dulu sekitar 5 meter.

 Masjid Qiblatain, (masjid 2 kiblat), dulu tahun 1993 masjid ini memiliki 2 mimbar, satu menghadap Makkah, satu lagi menghadap Baytul Maqdis. Tapi sekarang ; mimbar yang menghadap Masjidil Aqso sudah dihilangkan sehingga tidak ada tanda lagi bahwa masjid ini memiliki 2 kiblat, sehingga sudah hilang nilai sejarahnya. “Masjid qiblatain” hanyalah tinggal sebuah nama saja, mimbarnya tinggal 1, sepantasnya nama pun berubah menjadi Masjid Qiblat, karena mimbarnya hanya satu.
Parit (Khandaq) – yang pernah digunakan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam untuk menghalau musuh dalam peperangan Khandaq atau Ahzab- pada tahun 1993 masih ada berupa gundukan tanah yang digali seperti lobang saluran air yang panjang, tapi kini Khandaq hanya tinggal nama, lokasinya sudah diuruk rata.

Selain itu, “Tanah basah” tempat dimana Sayyidina Hamzah bin Abdul Muthalib terbunuh pada perang Uhud, sekarang sudah ditutup dengan aspal yang tebal dan dijadikan lokasi parkir kendaraan. Tapi anehnya, walupun sudah dilapisi dengan aspal, aspalnya tetap basah hingga sekarang walaupun sudah 14 abad terpanggang sinar matahari. Konon tanah ini tetap menangis selama-lamanya karena ditumpahi darah. Sayyidina Hamzah bin Abdul Muthalib ra, adalah seorang yang sangat gagah berani di medan Uhud, dan mati syahid dibunuh oleh budak Hindun, isteri Abu Sufyan, dan ibu dari Muawiyyah.

Selain itu Kota Madinah sebetulnya memiliki sebuah sumur abadi seperti halnya sumur zam-zam di Makkah. Sumur ini adalah peninggalan Rasulullah SAW, yang masih tetap mengeluarkan air hingga sekarang. Namanya adalah sumur “Tuflah”, lokasinya dipinggiran kota Madinah. Tuflah asal katanya berarti air ludah, konon kata kuncen penjaga sumur ini, sumur ini dibuat semasa Rasulullah SAW dalam perjalanan menuju kota Madinah, namun ketika itu kehabisan persediaan air. Akhirnya Rasulullah SAW dengan mu’jizatnya meludahi dengan air ludahnya sendiri suatu tempat di padang pasir yang gersang itu, dan saat itu juga tanah itu mengeluarkan air dan hingga sekarang dijadikan sebuah sumur yang airnya sangat jernih sejernih zam-zam, dan tetap mengalirkan air hingga sekarang. 
Tapi sangat disayangkan, sumur itu tidak dilestarikan sama-sekali bahkan dibiarkan saja oleh Pemerintah Kerajaan Saudi Arabia yang beraliran Wahhabi sehingga nampak kusam dan tidak terurus sama-sekali. Maulidurrasul (rumah tempat lahir Rasululah) pun disulap menjadi perpustakaan yang tidak semua orang dapat mengunjunginya.  

Terkait dengan tindakan destruktif yang dilakukan Wahabi Arab Saudi, dalam sebuah Esai, Goenawan Mohamad berkomentar, menurutnya di sebuah tulisan dari tahun 1940 Bung Karno mengutip buku Julius Abdulkarim Germanus, Allah Akbar, Im Banne des Islams, di sana Bung Karno menggambarkan kaum Wahabi sebagai orang-orang yang dengan keras dan angker mencurigai “kemoderenan”; mereka bahkan membongkar antena radio dan menolak lampu listrik.  Tapi kini, seperti tampak di kemegahan Abraj al Bait bukan hanya lampu listrik yang diterima, tapi juga transformasi Mekah jadi semacam London & Las Vegas. Ini mengherankan sebenarnya: paradoksal!.

Lebih lanjut Mohamad berkomentar, “mungkin sikap dasar Wahabisme tak berubah. Menghapuskan petilasan (menidakkan masa lalu), sebagaimana menampik “kemoderenan”, (menidakkan masa depan) adalah  sikap yang anti-Waktu. Jam besar di Abraj al Bait itu akhirnya hanya menjadikan Waktu sebagai jarum besi. Benda mati.  Dan bagi yang menganggap Waktu benda mati, yang ada hanya rumus-rumus ibadah tanpa proses sejarah. Tapi apa arti perjalanan ziarah, tanpa menapak tilas sejarah dan menengok yang pedih dan yang dahsyat di masa silam?

Namun apa pun yang terjadi kewajiban kita adalah menunaikan ibadah haji untuk memenuhi panggilan Allah. Maka niat ikhlas ibadah harus dikedepankan tanpa ada tendensi yang mengakibatkan terreduksinya semangat kita untuk menjadi duyufurrahman yang mabrur. 

H. Ahmad Zuhri Adnan, M. Pd.
Penulis adalah Pengasuh PP Majelis Tarbiyah Hidayatul Mubtadiin 
Ketitang Japurabakti Cirebon
 Alumni PP Lirboyo Kediri, 
Mengajar Bahasa dan Sastra di SMA N 1 Lemahabang Kab. Cirebon
Dan STIBA Invada Cirebon
082127041144


MENELUSURI JEJAK SASTRA PESANTREN

Oleh: Ahmad Zuhri Adnan

Suasana ngaji paaran bulan Ramadhan PP MTHM Ketitang Cirebon Tahun 2017






MENELUSURI JEJAK SASTRA PESANTREN
Oleh: Ahmad Zuhri Adnan


Penyair asal Sumenep, Madura, Jatim, D Zawawi Imron, mengatakan “sastra pesantren itu sesungguhnya telah hadir sejak masuknya Islam di Indonesia sekitar abad ke-12 sekaligus merupakan bagian tak terpisahkan dari sastra Indonesia” (Kompas Cyber Media, Rabu, 29 September 2004, www.kompas.com). Pada awal-awal masuknya Islam di Jawa, telah banyak karya sastra yang dihasilkan dari tradisi kita yang bisa diketemukan, seperti Serat Jatiswara, Serat Centhini, Serat Anbiya dan Tapel Adam. Pada fase selanjutnya mengalami kemerosotan dan kemunduran, hingga kira-kira sekitar akhir paruh pertama abad ke-20, di situ mulai bermunculan berbagai nama seperti Djamil Suherman, Mohammad Radjab, A.A. Navis, HAMKA dan Ki Pandji Kusmin. (Abdurrahman Wahid, 1973). Fase ini bisa dikatakan fase kebangkitan kembali sastra pesantren.

Menurut M. Faizi, walaupun pencitraan pesantren telah diangkat dalam karya sastra puluhan tahun yang lalu, lewat karya Djamil Suherman, maupun Saifuddin Zuhri, dan juga M. Fudoli Zaini, namun wacana “sastra pesantren” sama sekali tidak pernah diperbincangkan. Istilah ini, meskipun terus diperdebatkan hingga hari ini, secara praktis muncul sejak adanya kecenderungan dari penulis-penulis alumni pesantren, atau yang berlatar pesantren, dan atau pelajar yang sedang mondok (status santri di sebuah pondok pesantren), mulai menulis di koran dan secara meyakinkan mewartakan identitas dirinya sebagai orang pesantren. Jadi, bisa dipastikan, awal mula kemunculannya, bukunlah dilartarbelakangi oleh isu kesastraan, melainkan oleh isu gagasan (tema, seting) dan personal (sastrawannya).

Sebetulnya istilah sastra pesantren sudah lama menjadi diskursus dan polemik yang sampai saat ini masih menjadi PR bagi semuanya. Kompas (Jatim, 6/9/2005) pernah memuat diskursus tentang ini: terdapat problem dalam merumuskan apa yang dimaksud dengan sastra pesantren. Di satu sisi, sastra pesantren dimaknai sebagai alur keislaman profetik dalam bersastra ria pada masa Arab klasik, sementara ada pula yang memberi limitasi sastra pesantren hanyalah karya yang dihasilkan para santri. dan wacana ini ini berkembang lebih mengemuka  pada tahun 2000-an, tepatnya ketika Abdurrahman wahid (Gus Dur) menjabat sebagai presiden RI. Besar kemungkinan, kepresidenan Abdurrahman Wahid menjadi pertanda bagi bangkitnya kelompok masyarakat yang bergerak di jalur kultural (pesantren) yang selama Orde Baru mereka tidak memiliki kesempatan. 

Gus Dur menjadi juru bicara orang-orang pesantren untuk masyarakat nonpesantren, termasuk masyarakat asing. Tidak dapat disangkal, suka atau tidak suka, Gus Dur-lah yang telah membukakan pintu gerbang kepesantrenan: pintu tempat orang-orang luar masuk dan melihat-lihat pesantren, dan dia pulalah yang mengajak civitas pesantren untuk keluar dan menunjukkan diri kepada dunia. Sebelum pemerintahan Gus Dur, kalaupun banyak penulis yang berasal dari pesantren, publik tidak pernah mengenal mereka dengan baik karena para penulis (sastrawan) itu memang tidak menampakkan diri. Di era presiden RI ke-4 itulah orang-orang pesantren, terutama yang bergerak di bidang kebudayaan dan kesusastraan mulai dipertimbangkan.

JEJAK DAN KEDEKATAN ORANG-ORANG PESANTREN DENGAN SASTRA

Menurut Ahmad Baso, Pada abad 17 dan 18 pesantren menjadi tempat para pujangga dan sastrawan menghasilkan karya-karya sastra. Pujangga-pujangga kraton, seperti Yasadipura I. Nama aslinya adalah Bagus Banjar, putra Tumenggung Padmanegara bupati Pekalongan. Ayahnya ini masih keturunan Sultan Hadiwijaya raja Pajang. Sewaktu kecil Yasadipura I pernah berguru pada Kyai Honggomoyo, seorang ulama dari padepokan Magelang, dan wafat 1801. Yasadipura I saat itu dikenal mengajarkan kesastraan Jawa maupun Arab. Dalam satu karya, Serat Cabolek, Yasadipura menggambarkan seorang ulama dari Kudus, pesisir Jawa Tengah, yang menunjukkan keahliannya dalam membaca dan menafsirkan naskah-naskah Jawa kuno di hadapan para priyayi Kraton Surakarta. Selain Yasadipura I, ada  Yasadipura II, dan Ranggawarsita, adalah santri-santri pesantren yang tekun mengembangkan karya-karya sastra dalam berbagai bentuk seperti kakawin, serat dan babad.

Sebelum itu wali songo (abad 15-16) yang notabenenya penyebar agama Islam di Indonesia sesungguhnya telah mengawali babakan sastra di Indonesia. Sebut saja Sunan Ampel (Raden rahmat, Lahir 1401) melahirkan produk sastra fenomenal berupa pujia-pujian yang berisi ajaran tauhid berbasis ahlak yang sampai saat ini masih bisa kita dengar lewat music kontemporer (dengan berbagai genrenya) yaitu teks lir ilir.

Demikian pula karya-karya Penghulu Haji Hassan Musthafa (1852-1930). Dari sekitar 49 buah karyanya, kebanyakan diperoleh dari tradisi kesastraan pesantren. Ciri khas kesastraan pengulu-kepala ini ada pada bentuk-bentuk bahasa yang berbentuk puisi, tapi penuh lelucon, plastis tapi orisinil. Selain itu, ia juga mengintegrasikan khazanah fiqih dan sufisme pesantren ke dalam adat kebiasaan orang Sunda dalam bentuk simbol-simbol pemaknaan yang akrab. 

Pada karya modern yang sudah menggunakan huruf Latin, ada Pahlawan ti Pesantren (Pahlawan dari Pesantren). Ini adalah sebuah roman dalam bahasa Sunda, yang menceritakan perjuangan para santri menghadapi kolonialisme Belanda karya Ki Umbara (Wiredja Ranusulaksana) (1914-2004) dan S.A. Hikmat (Soeboer Abdoerrachman) (1918-1971). 

Dalam bahasa Jawa, Serat Jatiswara, Serat Centhini, dan Serat Cabolek adalah contoh-contoh karya-karya pesantren dari wilayah pesisir utara Jawa. Ini adalah teks-teks sastra kaum santri sejak abad 17 dan 18, yang diproduksi di lingkungan kaum santri dan beredar di kalangan kaum santri, terutama di lingkungan masyarakat pesisir, yang kemudian dibakukan menjadi “milik kraton” oleh Yasadipura II pada pertengahan abad 19. Kisah perjalanan kaum santri pengembara (santri lelana) menuntut ilmu di berbagai pondok dan tempat keramat mendominasi karya-karya ini. Kekayaan tradisi keillmuan pesantren juga ditunjukkan dalam Hikayat Pocut Muhammad dan Hikayat Indrapura dalam beberapa versi lokalnya.

Demikian pula cerita epos I La Galigo, dengan tokoh protagonisnya, Sawerigading. Karya sastra berbahasa Bugis ini sepenuhnya berasal dari masa sebelum Islam. Namun, disisipkan satu versi cerita --lisan dan tertulis-- dimana Sawerigading nyantri ke Mekkah, naik haji, bertemu dengan Nabi Muhammad SAW, dan kembali ke kampungnya mendirikan “masigi”, mesjid plus pondok. Versi “Sawerigading santri” baik lisan maupun tulisan ini masih terpelihara di beberapa pesantren Bugis-Makassar. 

Sastra pesantren juga mengungkapkan diri dalam karya-karya etnografis-kesejarahan atau kisah-kisah perjalanan yang merekam tradisi-tradisi masyarakat setempat dalam bentuk sastra. Seperti dalam Poerwa Tjarita Bali, ditulis pada 1875 dalam bahasa Jawa, oleh seorang santri di Pondok Sepanjang, Malang, bernama Raden Sasrawijaya, asal Yogyakarta. Pengetahuan tentang “kota-kota, adat-istiadat pembesar dan orang kebanyakan yang tinggal di desa-desa” ini kemudian dituangkan sebagai bagian dari kegiatan bersastra (maguru ing sastra) orang-orang pesantren.

Pada 1960-an muncul nama Syu’bah Asa, Fudoli Zaini dan beberapa nama yang bisa dianggap mewakili kaum santri. Pada tahun 1970-an muncul Emha Ainun Nadjib (alumni Pesantren Gontor) dengan sajak-sajak religiusnya yang kental. Tahun 1980-an muncul K.H. Mustofa Bisri (Gus Mus, Pengasuh Ponpes raudlatuttolibin, Rembang), Jamal D Rahman, Acep Zamzam Noor (Putra mantan Rois Syuriyah PBNU, KH Ilyas Rukyat Tasikmalaya), Ahmad Syubbanuddin Alwy (putra kyai dari Cirebon Timur), Abidah El-Khaleiqy, Ahmad Tohari (Muballig pengasuh pesantren) dan lain-lain. Kemudian pada tahun 1990-an tampil Mathori A Elwa, Hamdi Salad, Nasruddin Anshory, Kuswaidi Syafi’ie dan lain-lain. Dan di era 2000 muncul novelis (boleh juga dibilang sastrawan?) Habiburrahman Elsirazy. Meraka adalah sastrawan yang pernah belajar di pesantren, dan karya-karya mereka pada umumnya diwarnai nafas Islam. 

Di pesantren, santri membaca atau menyanyikan puisi setiap hari. Tak ada hari tanpa santri membaca puisi, sendiri-sendiri atau bersama-sama. Utamanya adalah ‘diba’, sebuah antologi puisi karya Imam Abdurrahman Ad-Dayba’i ini dilakukan seminggu sekali oleh masyarakat pesantren. Dan khusus untuk genre puisi bahkan pesantren memasukkan sebuah ‘teori puisi’ berupa ilmu ‘Arudl’ karya Al-Khalil bin Ahmad. Ilmu ‘Arudl, adalah sebuah disiplin ilmu yang membahasa perihal penciptaan rima dan matra dalam puisi. Selain itu mereka membaca atau menyanyikan puisi Abu Nuwas, Sayyida Ali r.a., Imam Syafi’i, al-Bushiri (puisi burdah), prosa al-Barzanji (prosa karya Syekh Jakfar Albarzanji), dan lain-lain. Mereka membaca doa-doa, yang hampir semuanya berbentuk puisi. Bahkan tauhid dan tata bahasa Arab pun mereka pelajari melalui puisi, sambil menyanyikannya. Gambaran tersebut (dan fakta jejak orang pesantren di atas) cukup signifikan untuk dijadikan sebagai bukti kedekatan orang-orang pesantren/santri dengan tradisi sastra, khususnya puisi. 

Kemampuan yang ditunjukkan oleh civitas pesantren dalam bentuk kompetensi di bidang karang-mengarang, sastra maupun non-sastra. Puisi (syi’ir) menjadi ruh bagi hampir seluruh aktivitas keilmuannya. Berbagai macam disiplin ilmu keagamaan diajarkan melalui bait-bait puisi (nadham). Syi’ir-syi’ir ini tidak saja dipelajari, melainkan juga dihafalkan. Tradisi nadham dan hafalan menjadi dua serangkai yang nyaris tidak dapat dipisahkan. Yang paling masyhur bagi kita antara lain adalah buku kumpulan puisi “Alfiyah” karya Ibnu Malik. Kitab ini berisi 1000 larik puisi tentang ilmu tata bahasa Arab (gramatika), dan ada pula nadham Maqshud, puisi yang mempelajari ilmu konjugasi/perubahan bentuk kata. Sehingga, jika dikatakan seseorang belajar Alfiyah atau ‘Amrithi dan nadham maqhsud, maka sejatinya dia sedang belajar ilmu nahwu melalaui puisi-puisi itu dengan cara menghafalkannya sekaligus. Selain itu situasi jiwa yang jauh dari rantau, orang tua dan sahabat, mengantarakan ‘proses kreatif’ para santri untuk berkarya membuat puisi (dan cerpen). Proses it uterus mengalir seiring ‘nyanyian jiwanya’ yang membuncah- yang sengaja atau tidak sengaja- menghasilkan karya sastra yang eksotis.

Sementara di bidang prosa (natsar: dan karya ilmiah) banyak kiai yang menulis kitab dan diterbitkan untuk umum, bahkan masyhur tidak saja di tanah air (Nusantara), melainkan hingga ke luar negeri, bahkan hingga jauh di tanah Arab. Terutama karya-karya ulama zaman dahulu. Sebut saja misalnya Syekh Abdus Shamad Al-Falimbani, Syekh Nawawi al-Bantani (Nihayat az-Zain, Marahu Labid/Tafsir Munir), Syekh Yasin al-Fadani (Fawaidul Janiyyah, Hasyiyah Faraidul Bahiyyah), Kiai Ihsan Jampes (Siraj at-Thalibin), Kiai Ma’shum Ali (Amtsilat at-Thashrif), Kiai Hasyim Asy'ari (At-Tanbihat al-Wajibat) dan juga, yang muncul belakangan, Shohib Khaironi El Jawy yang menulis kitab panduan tata bahasa Arab dengan metode skema dan diagram yang memudahkan pembaca yang ingin mendalami ilmu nahwu-sharaf. Kitab karangannya ini, Audhlahul Manahij, bahkan telah “diakui” kompetensinya di negara-negara Arab (Em Syuhada’: 2008). 

MENGURAI ORIENTASI SASTRA PESANTREN
Jika kita bicara sastra pesantren maka batasan dua kata dalam satu frase itu perlu diulas lebih awal. Berdasarkan pendapat 10 ahli sastra (diantaranya Sapardi Djoko Damono, Saeni KM, dan Tarigan), umunya pengertian sastra tidak lepas dari empat kata kunci yaitu, ekspresi, imajinasi, estetika dan bahasa. Dengan demikian jika empat kata kunci itu ditemukan dalam produk bahasa maka dinamakan sastra. Pendeknya sastra adalah ekspresi seseorang yang bersifat imajinatif dengan medium bahasa yang mempunyai efek keindahan. 

Sementara kata pesantren menurut kamus besar bahasa Indonesia, iartikan sebagai asrama, tempat santri, atau tempat murid-murid belajar mengaji. Sedangkan secara istilah pesantren adalah lembaga pendidikan Islam, dimana para santri biasanya tinggal di pondok (asrama) dengan materi pengajaran kitab-kitab klasik dan kitab-kitab umum, bertujuan untuk menguasai ilmu agama Islam secara detail, serta mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian dengan menekankan pentingnya moral dalam kehidupan bermasyarakat. Dan berdasarkan pendapat banyak kalangan diantaranya, Zamahsyari Dhofir, Manfred Ziemek, Clifford Geertz, dan Wahjoetomo, jika disimpulkan istilah pesantren harus memenuhi empat unsur yaitu, kyai, santri, asrama (masjid, musolla, padepokan dll) dan muatan pengajaran (kitab kuning). Kalau boleh penulis istilahkan lebih kekinian maka kyai dan santri adalah civitas pesantren, asrama berarti latar (setting), dan muatan pengajaran berarti tema.

Maka logika sederhananya adalah, jika ada sebuah karya hasil ekspresi yang bersifat imajinatif dengan medium bahasa dan berefek estetis dan produk itu dihasilkan dari seorang kyai, atau santri, berkembang dan atau dikembangkan dari komunitas pesantren dan bernafaskan (tema) muatan pesantren, maka itu berarti sastra pesantren. Lalu kapankah ‘klaim’ ini memiliki integritas dalam dunia kesusateraan.  Karena sementara ini dalam sector periodisasi sastra, kebanyakan para ahli sastra membagi periodisasi satra dalam tiga babakan yaitu masa kesusastraan lama (purba, Hindu dan Islam) dan masa kesuasteraan baru (Angkatan Balai Pustaka [angkatan 20], angkatan Pujangga Baru [angkatan 30], angkatan 45, angkatan 50, dan angkatan 66). Di situ terminologi maupun etimologi pesantren tidak muncul dan yang tereksplisitkan kesuasteraan Islam. 

Yang jadi persolan adalah manakala keempat unsur itu tidak terwadah dalam satu paket. Misalnya santri atau pernah nyantri tapi menghasilkan karya tidak bertemakan santri atau pesantren, maka apakah disebut sastra pesantren?. Atau bukan santri dan tidak pernah nyantri tapi menghasilkan karya bertemakan santri atau pesantren apakah juga dikategorikan sastra pesantren?

Untuk menjawab dua pertanyaan di atas, maka orientasi batasan ‘sastra pesantren’ tampaknya harus dilihat dari beberapa cara pandang tentang sastra pesantren. Menurut Syarif Hidayat Santoso (Kompas Jawa Timur, 2005) bahwa istilah “sastra pesantren” menunjuk pada setidaknya tiga pengertian: (1) sastra yang hidup di pesantren (2) sastra yang ditulis oleh orang-orang (kiai, santri, alumni) pesantren; (3) sastra yang bertemakan pesantren, seperti Umi Kalsum Djamil Suherman, Geni Jora Abidah El-Khalieqy, dan Maria & Maryam Parahdiba. Dengan tiga pengertian itu, khazanah sastra pesantren mengalami perluasan dan pengayaan, baik dalam bentuk, isi, maupun lingkungan pergaulannya. 
Selama ini lazim diketahui, term sastra pesantren didefinisikan sebagai produk/ karya sastra yang bertema keislaman, kesantrian, dan kepesantrenan; atau diidentifikasi sebagai karya sastra yang berurusan dengan nilai keislaman; atau karya sastra para pengarang yang punya pengalaman kehidupan pesantren, karya pengarang berbahasa Indonesia yang bermuatan tema keislaman, kesantrian, atau kepesantrenan; atau pula pengarang yang punya hubungan sejarah atau silsilah dengan pesantren. Dalam pandangan Ridwan Munawwar (Ridwan Munawwar, 2007), kategori di atas tampaknya menghendaki tema/ wilayah pembahasan sastra pesantren ke arah tema-tema nilai esoterik keagamaan; cinta ilahiyyah, pengalaman-pengalaman sufistik, cinta sosial (habluminannaas), atau ekspresi dan impresi transendental keindahan alam semesta (makrokosmos). Berkaitan dengan titik berat ke arah tema ini maka akan mengecualikan Taifiq Ismail, Kunto Wijoyo,  dan Abdul Hadi WM  yang bukan orang pesantren (tidak pernah nyantri?) tapi karya-karyanya bertema agamis (religious).

Jika orientasi itu didasarkan pada “siapa”, yakni pada sastrawan (penulisnya): berdasarkan kategori ini, yang disebut karya sastra pesantren adalah karya yang ditulis oleh santri/kiai/civitas pesantren, dan atau juga yang punya silsilah sosial/intelektual dengan pesantren. Maka akan dapat disebutkan nama-nama berikut, D. Zawawi Imron (Kyai dari Sumenep), Djamil Suherman, Syu’bah Asa, Fudoli Zaini , Emha Ainun Nadjib (alumni Gontor), KH Mustofa Bisri (Syuriyah PBNU, pengasuh PP Roudlatut tolibin Rembang), Ahmad Tohari (kyai, pengasuh pesantren) Jamal D Rahman, Acep Zamzam Noor (putra KH Ilyas Rukyat, mantan Rois Syuriyah PBNU), Ahmad Syubbanuddin Alwy (putra kyai Cirebon), Abidah El-Khalieqy, Mathori A Elwa, Hamdi Salad, Nasruddin Anshory, juga Kuswaidi Syafi’i. Maka meskipun karya-karya mereka tidak menyebut dan bernuansa pesantren secara langsung, menurut M. Faizi dalam “Silsilah Intelektualisme dan Sastra di Pesantren”  kategori ini lebih pas jika dikelompokkan dengan sebutan “sastrawan santri”, yaitu civitas pesantren (santri/alumni) yang menulis karya sastra. Sebagaimana dikemukakan di atas, maka orientasi ini mengecualikan Taufiq Ismail, Kunto Wijoyo,  dan Abdul Hadi WM  yang bukan orang pesantren.

Dan jika orientasi berdasarkan tema/seting, yakni sastra pesantren yang diasumsikan berdasarkan seting/latar cerita dan tema. Nah, barangkali, untuk mengambil contoh kategori ini akan sangat banyak. Novel “Geni Jora” karya Abidah el-Khalieqy dan “Hubbu” karya Mashuri (keduanya sama-sama memenangkan lomba penulisan novel/roman yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta pada tahun yang berbeda) adalah salah satu contohnya, mengingat seting cerita yang diangkat adalah seting pesantren. Lebih-lebih, jika kita berikan contoh novel-novel pop remaja Matapena yang memang secara khusus mengangkat tema dan latar pesantren, seperti Bola-Bola Santri (Sachree M. Daroini) dan Jerawat Santri (Isma Kazee), dan seterusnya. Tentu saja Taufiq Ismail, Kunto Wijoyo, dan Abdul Hadi WM masuk dalam kategori ini. 

Dalam orientasi ini justru persoalan akan menjadi rumit karena meskipun dari kalangan pesantren, Ahmad Tohari dengan Trilogi Ronggeng Dukuh Paruknya, Geni Joranya Abidah El Khaleiqy atau “Kuda Ranjang” karya penyair muda Binhad Nurrahmat sulit untuk dikatakan sebagai karya “Islami”. karya mereka terkesan jauh dari area dan bahasa pesantren. Berbeda dengan karya almarhum Hamka misalnya, secara otomatis sampai saat kini mendapat legitimasi sebagai karya Islam hanya karena menggunakan pondasi Religiusitas yang diamini masyarakat, kendatipun ‘karya Islam’ (dan religi) masih belum ada kata sepakat mewakili sastra pesantren 

Orientasi ketiga adalah apabila sastra pesantren harus dikelompokkan berdasarkan genrenya—dengan tetap bertahan pada definisi genre dalam pandangan sarjana-sarjana sastra—maka yang dimaksud sastra pesantren adalah nadhaman, syi’iran, yang nota bene berbahasa Arab dan bahasa daerah (Jawa, Sunda, Madura), dan bukan berbahasa Indonesia. Sebab, hanya genre syi’ir ini yang dapat kita kelompkkan pada genre, yakni jenis produk karya sastra (seperti puisi dan prosa), dan temanya jelas-jelas mengangkat masalah-masalah (ilmu-ilmu) keagamaan dan bahasa (nahwu-sharraf).

Kalau definisi sastra pesantren ditarik lebih keluar, misalnya dengan menyitir pernyatan bahwa karya sastra pesantren adalah setiap karya yang menyiratkan nuansa sufistik, risalah keagamaan, dan seterusnya, tentu kita tidak boleh keberatan untuk memasukkan karya-karya Abdul Hadi WM di dalamnya, meksipun dia sendiri bukanlah civitas pesantren. Bahkan, secara lebih ekstrem, kita juga harus merelakan karya-karya Romo Mangunwijaya, Rabindranath Tagore, hingga Khalil Gibran, sebagai karya yang berlabel “sastra pesantren” meskipun mereka sendiri adalah non-muslim. Itu artinya, sastra pesantren tak jauh adalah berbeda dengan sastra profetik.

Menurut Acep Zamzam Noor, ukuran sastra sebagai karya adalah kreativitas, tanpa harus mempedulikan siapa dan dari kalangan mana penulisnya, begitu juga tema yang diangkatnya (Acep Zamzam Noor: 2006). Ia menyatakan kurang setuju dengan pelabelan “sastra pesantren” atau “sastra santri”. Sebab, pelabelan ini, menurutnya, akan menjadi beban yang berat bagi para penulis kalangan pesantren untuk selalu menggarap tema-tema tertentu, misalnya soal kehidupan pesantren atau tema-tema yang berbau dakwah. Bukan hanya beban, bahkan pelabelan ini bisa jadi menghambat kreativitas penulisnya itu sendiri. 

Ahmad Baso pernah berbicara tentang “sastra pesantren”. Menurutnya sastra pesantren bukan sekadar soal kehadiran suara komunitas pesantren dalam produksi sastra. Tapi juga sebuah perbincangan tentang subyektifitas kreatif kalangan pesantren dalam berkebudayaan. Tampilnya pesantren sebagai tempat persemaian tradisi kesusastraan, menunjukkan bahwa pesantren bukan hanya tempat belajar, tapi juga lembaga kehidupan dan kebudayaan. 

Sementara Muhammad Abdullah, dalam sebuah risetnya: Fungsi Wirid Dan Hizib dalam Sastra Lisan Pesantren (2008) mengatakan bahwa ciri-ciri sastra pesantren tersebut adalah (1) lahir dan berkembang setelah sekitar abad ke-19, (2) bahasa yang dipakai adalah bahasa Jawa, bahasa Arab, kadang bercampur bahasa Arab dan Jawa ; (3) tulisan yang dipakai adalah tulisan Arab-Jawa (pegon) dan tulisan Arab; (4) lahir dan berkembang di kawasan pondok pesantren; dan (5) isinya berkisar masalah tauhid, fiqih, ilmu kalam, dan doa-doa (Basuki, 1988; Abdullah 1996; Thohir, 1997). 

Kalau boleh penulis menarik benang merah, maka bahwa sesungguhnya dalam sastra pesantren ada ramuan yang harus terpenuhi secara komplit sehingga akan muncul ‘citarasa’  yang akan dapat dirasakan secara seragam oleh penikmat sastra, yaitu unsur personal, tema, dan latar yang bernuansa pesantren. Maka tidak akan terbantahkan orang-orang seperti D. Zawawi Imron (Bulan Tertusuk Ilalang:1982), Djamil  Suherman, Syu’bah Asa, Fudoli Zaini , Emha Ainun Nadjib, KH Mustofa Bisri (Tadarus Antologi Puisi: 1990), Jamal D Rahman (Reruntuhan Cahaya:2003),, Acep Zamzam Noor Tamparlah Mukaku! (kumpulan sajak, 1982), Ahmad Syubbanuddin Alwy, Mathori A Elwa, Hamdi Salad, Nasruddin Anshory, juga Kuswaidi Syafi’I adalah yang mewakili sastra pesantren.

Sastra pesantren lahir dari tangan-tangan kreatif santri-santri yang memunculkan produk-produk sastra yang tidak hanya religious, tetapi juga eksotis. Sampai di sini bisa kita lihat, bagaimana perjalanan “sastra pesantren” yang cukup dinamis dari waktu ke waktu, namun terkadang terasa kontradiktif-paradoksal. Hingga menyulitkan kita untuk melakukan pememetaan dari berbagai kecenduran yang ada. Akan tetapi yang jelas, “dunia sastra pesantren” sebenarnya menyimpan kekayaan yang tidak dapat dinafikan pada peta sastra dunia. Meski demikian, demi merengkuh nilai originalitas dan otentisitas, sastra pesantren masih harus terus diperjuangkan, harus dilakukan pencarian dalam pergulatan secara maksimal dan tidak pernah mengenal lelah. 

Penulis adalah Pengasuh PP Majelis Tarbiyah Hidayatul Mubtadiin 
Ketitang Japurabakti Cirebon
 Alumni PP Lirboyo Kediri, 
Mengajar Bahasa dan Sastra di SMA N 1 Lemahabang Kab. Cirebon
Dan STIBA Invada Cirebon
082127041144



Rabu, 06 Mei 2009

ANTASARI, STANDAR MORALITAS, DAN "IKON YANG BERNAMA PEREMPUAN"

ANTASARI, STANDAR MORALITAS,
DAN “IKON YANG BERNAMA PEREMPUAN”

Oleh: Em. Ahmad Zuhri


“Persoalan di antara kita sebaiknya diselesaikan dengan baik-baik. Jika perlu aku meminta maaf. Jangan di-blow up. Jika di-blow up, risikonya kamu akan tahu sendiri nanti”

Kalimat sederhana di atas adalah SMS bernada ancaman Antasari Azhar yang ditujukan kepada Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen. Tanpa diduga SMS itu yang mengantarkan Antasari ke jurang keterpurukkan karena dituduh sebagai otak pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen, teman dekatnya sendiri.

Saat ini siapa yang tak kenal Antasari Azhar?. Kasus Tommy Soeharto telah melambungkan nama Antasari Azhar, ketika menjabat Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Tak heran, kalau setiap kali ia berada di tempat umum, orang-orang langsung menatapnya sambil berbisik-bisik. Selanjutnya setelah namanya direkomendasikan sebagai calon ketua KPK, akhirnya ia terpilih sebagai ketua KPK Melalui pemungutan suara oleh Komisi III DPR yang dilangsungkan pada Rabu malam, 5 Desember 2007. Antasari menyisihkan empat rivalnya yaitu Chandra M. Hamzah, Bibit Samad Rianto, Haryono, dan Mochammad Jasin.

Di bawah kepemimpinan jaksa karir ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) semakin menunjukkan kemampuan dan keteguhan independensinya memberantas korupsi. Sebagai Ketua KPK, Antasari Azhar, kelahiran Pangkal Pinang, Bangka 18 Maret 1953, menunjukkan kepemimpinan yang menempatkan KPK pada posisi seharusnya sebagai lembaga yang independen, bebas dari campur tangan pemerintah dan lembaga lainnya.

Dan Semenjak menjabat Ketua KPK, sepak terjangnya membuat banyak orang berdecak kagum. Terakhir, lembaga yang dipimpinnya itu membuat besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Aulia Pohan, harus menghuni pengapnya jeruji besi penjara karena tersangkut kasus aliran dana Bank Indonesia (BI) ke DPR. Namun, kini publik terperangah saat nama mantan pejabat Kejakgung itu dikaitkan dengan kasus terbunuhnya Direktur PT PRB Nasrudin Zulkarnaen. Bahkan, pria berkaca mata dengan kumis tebal itu diduga kuat sebagai otak tewasnya Nasrudin.
Adalah permasalahan asmara segitiga yang diduga membuat Antasari-Nasrudin yang merupakan teman dekat itu akhirnya berseteru hingga berujung tewasnya Nasrudin. Skandalnya dengan seorang perempuan yang bernama Rani Juliani yang kini membuat Antasari Azhar terjungkal. Karena khawatir skandal asmaranya dengan seorang caddy golf yang tak lain merupakan istri ke tiga Nasrudin itu, terkuak. Lalu teman-temannya itu berbuat terlalu jauh dengan menghabisi Nasrudin atas suruhan Antasari.

STANDAR MORALITAS
Apapun status hukum (dan hukuman) yang kelak akan disandang Antasari, ini merupakan peringatan sekaligus pukulan telak bagi pejabat, penyelenggara negara, anggota dewan, maupun siapa saja yang menjadi figure public. Ke depan standar moralitas pemimpin bangsa (baca: pejabat) harus menyentuh kepada semua ranah moralitas. Dalam hal ini anggota KPK tidak melulu memiliki catatan harian maupun rapot “kejujuran” yang tinggi, tapi juga harus bersih dari virus yang beraroma maupun indikasi “perselingkuhan”. Sebab terkadang seseorang mampu melewati jurang-jurang kecurangan seperti KKN, suap, otoriter, culas, tapi kehilangan kendali saat bersentuhan dengan “ikon yang bernama perempuan”.

Dalam hal ini sebaiknya parpol juga mengutamakan moralitas, selain bebas KKN di dalam proses perekrutan calon legislatif (caleg). Partai politik seharusnya berani membuka diri dari kritikan masyarakat terhadap calon yang akan dipilih pada pemilu yang akan datang. Masyarakat juga jangan takut memberikan masukan kepada calon-calonnya yang memang diduga melakukan perbuatan amoral.

Anggota DPR juga sebaiknya mempunyai budaya malu yang tinggi sebelum menerima tugas dan tanggung jawab sebagai wakil rakyat. Negara yang menganut sistem liberalisme seperti Amerika Serikat saja sangat permisif sekali terhadap masalah skandal seks dan skandal perempuan. Jika ada pejabat yang terlibat urusan seperti ini, maka pejabat itu akan mengundurkan diri secara legowo tanpa harus menunggu untuk dipecat. Mungkin ini salah satu upaya agar rakyat bisa kembali memberikan apresiasi positif kepada lembaga yang menampung aspirasi rakyat. Dan hal ini demi menciptakan lembaga yang namanya DPR bisa lebih berwibawa dan terhormat.
Belum hilang dari ingatan public kasus memalukan yang menimpa para pejabat. Terhitung dari akhir tahun 2006 setidaknya ada tiga pejabat yang tersandung kasus “permainan asmara”. Pada akhir 2006 video mesum berdurasi 42 menit anggota DPR dari Partai Golkar, Yahya Zaini dengan pedangdut Maria Eva tercium public. Setelah menjadi bulan-bulanan pers, akhirnya Yahya Zaini menyatakan pengunduran dirinya dari anggota DPR. Pada 9 September 2008 politisi dari PDI Perjuangan, Max Moein resmi diberhentikan setelah kasus perselingkuhannya dengan mantan sekretaris pribadinya, Desi Vidyawati terendus oleh Badan Kehormatan DPR. Berikutnya kisah politikus “main mata” dengan bukan istrinya dialamai oleh Al Amin Nur Nasution. Politisi PPP kelahiran Jambi 28 Maret 1972 ini tertangkap komisi pimpinan Antasari Azhar di hotel Ritz Carlton pada Rabu 9 April 2008. Saat penangkapannya, suami biduan dangdut Kristina ini sedang bersama seorang perempuan.

Memang, skandal perempuan (perselingkuhan) tampaknya tidak hanya “santapan manis” di republic ini. Saat ini sedang ramai isu skandal Perdana Menteri Italia Silvio Berlusconi yang dituduh selingkuh dengan gadis ABG, Noemie Letizia 18 tahun. Di Malaysia juga sejak tahun 1998 tercatat kasus skandal seks yang menerpa para pejabat. Akhir tahun 1989 mantan wakil ketua partai Dewan Rakyat terpaksa mengundurkan diri akibat kontroversi rekaman video seks. Tahun 1998 Wakil Perdana Menteri Malaysia Datuk Seri Anwar Ibrahim dituduh melakukan sodomi dan merayu istri pengusaha. Pada Mei 1991 istri S. Assamaley seorang pejabat partai DAP Malaysia bunuh diri dengan cara menceburkan diri di laut setelah mendengar suaminya berselingkuh dengan perempuan. Dan di Jepang gara-gara skandal perempuan simpanan, penasihat Perdana Menteri Jepang mengundurkan diri dari jabatannya. Masaaki Honma dipilih langsung oleh Perdana Menteri (PM) Shinzo Abe sebagai kepala Dewan Kebijakan Ekonomi dan Fiskal. Namun petinggi negeri Sakura itu menuai kecaman keras karena tinggal bersama selingkuhannya di kediaman milik Negara.

Amerika juga turut melengkapi cerita memalukan ini. Bill Clinton boleh saja lolos pemakzulan, dan dianggap berprestasi. Tapi skandal seksnya dengan Monica Lewinsky tetaplah sebuah kesalahan. Dan jika membaca sejarah, Kisah ranjang biru Kennedy. Empat puluh tahun sudah jasadnya terpendam di Makam Nasional Arlington. Tapi, masih ada saja sisi gelap kehidupan pribadi John F. Kennedy (JFK) yang terungkap. Ibarat membangkit batang yang lama terendam, seorang perempuan gaek bernama Marion Fahnestock, 60 tahun, mengungkit cerita lama kisah-kasih dirinya dengan presiden ke-35 Amerika Serikat itu, awal pecan silam. Sesungguhnya, Marion alias ''Mimi Beardsley'' masih menutup rapat rahasia itu. Tapi, ia harus buka mulut kepada pers karena, toh, cerita asyik-masyuknya terkuak dalam buku mutakhir tentang sang presiden, “An Unfinished Life: John F. Kennedy, 1917-1963.”

“Ikon yang Bernama Perempuan”.
Ikon yang bernama perempuan tampaknya merupakan sosok makhluk yang memiliki daya pikat paling sempurna. Melalui kecantikanny, kelembutan, dan kehalusan tersimpan kekuatan ampuh untuk meluluhkan laki-laki. Sementara dari kelemahannya terselinap suatu kekuatan untuk mengobarkan peperangan (Imas Kurniasih: Januari 2008).

Jika kita membuka lembar sejarah masa silam, akan tergores di sana sebuah sisi unik dari “kelebihan” yang berupa “kelemahan” dari seorang perempuan. Kodratnya yang eksotis sekaligus erotis mampu mengubah dunia dan mampu memicu peperangan. Sebut saja Cleopatra (lahir Januari 69 SM). Dengan kecantikannya ia mampu memikat Juliaus Caesar dan Marcus Antonius (keduanya dari romawi) dan akhirnya menguasai Romawi dan Mesir. Helena, seorang permaesuri raja melengkapi cerita mitos Yunani karena memicu peperangan antara kerajaan Troya dan Sparta yang berniat akan berdamai dan hidup berdampingan.

Dalam kisah pewayangan, kecantikan Dewi Sinta telah memicu peperangan yang amat panjang antara Rahwana dan Sri Rama suaminya. Dan dalam kisah klasik nuasantara, Dyah Pitaloka Ratna Citraresmi, putrid cantik jelita kerajaan Sunda-Galuh (Ciamis) menjadi penyebab peperangan.. Konsistensi Gadjah Mada terhadap Sumpah Palapa dan rasa cintanya Hayam Wuruk terhadap Dyah Pitaloka menjadi sumber petaka dan penyebab pecahnya perang bubat antara Pajajaran dan Majapahit. Dan bahkan celakanya akbiat peristiwa bubat ini, di kalangan kerabat negeri sunda diberlakukan peraturan esti larangan ti kaluaran yang artinya tidak boleh menikah dengan orang dari luar kerabat sunda. Atau sebagian lagi tidak boleh menikah dengan pihak timur negeri sunda (Majapahit). Akibat “kecelakaan sejarah” ini pula, hingga sekarang masih dikenang oleh masyarakat Jawa Barat dalam bentuk penolakan nama Hayam Wuruk dan Gadjah Mada bagi pemberian nama jalan di wilayah ini.

Dalam sejarah nasional kita juga mendengar nama besar Cut Nyak Dhien. Istri Teuku Umar ini mampu mengobarkan semangat rakyat Nangroe (setingkat kabupaten) hingga meluas ke seluruh Aceh (kemudian sekarang menjadi Nangroe Aceh Darussalam) dalam melawan tentara Belanda. Perempuan yang satu ini luar biasa. Meskipun berasal dari kaum bangsawan, kaya raya dan dihormati, namun ia tidak betah duduk diam di rumah. Meskipun wajahnya lembut keibuan tapi sorot matanya tajam menandakan kecerdasan dan kepribadian yang kuat. Sosok perempuan ini nyaris sempurna untuk dijadikan istri dan juga ibu rumah tangga. Tapi hatinya tidak terima ketika negerinya diambil oleh penjajah.

Di abad modern kita juga mengenal sosok Margarety Thatcher (lahir 13 Oktober 1925). Dengan kecerdasannya ia mampu bertahan sebagai Perdana menetri Inggris hingga tiga masa jabatan berturut-turut. Dan sebagai muslim kita juga bisa menengok tarikh islam tentang Aisyah binti Abu Bakar. Si jelita istri nabi Muhammad yang kemerah-merahan pipinya (khumaerah) ini mampu menciptakan peperangan (dikenal dengan perang jamal melawan Ali bin Abi Thalib, keponakan nabi Muhammad SAW). Dan peperangan ini berawal dari kecantikannya sehingga muncul fitnah yang dikenal dengan sebutan hadisul ifki (berita bohong). Beliau dituduh berselingkuh dengan Shafwan bin Muathal. Fitnah yang bersumber dari pendeta yahudi, Abdullah bin Saba’ ini hingga mengakibatkan Aisyah jatuh sakit. Wallahu A’alam



Penulis adalah Alumni Pon Pes Lirboyo Kediri.
Ketua Dewan Kebijakan Asjap Institut.
Dan bekerja di SMA N 1 Waled.